CINTAI AKU KARENA ALLLAH
Karya: Sulaeman Daud
Kerudung putih yang melingkar dikepalanya seakan-akan tebawa pergi bersama angin-angin kecil yang berhembus ketelingaku dikelas itu. Angin-angin kecil itu membisikan telingaku bahwa perempuan berjilbab itu tengah memandangku. Tatapannya begitu ramah sehingga ada pelangi yang berbinar dimatanya, aku ingin sekali membalas tatapannya tapi aku takut ia akan membuang muka dariku dan kunjung menatapku lagi. Seiring udara yang kian memanas dan angin-angin itu selalu membisikan bahwa perempuan itu masih menatapku, kali aku harus berani membalas tatapannya. Secara perlahan aku memutar kepalaku hingga terlihatlah batang hidungnya. Ternyata aku telah berburuk sangka, dia membalasku dengan senyuman yang melingkar di bibirnya.
Aku kembali tersenyum padanya. Kenyataannya seseorang didekatku ini juga tengah menengoknya dan tersenyum padanya. Aku memalingkan wajah dari perempuan berjilbab tersebut dan berbalik menengok Hasbi teman sebangkuku, aku menatapnya dengan aneh tetapi dia abaikan perhatianku ini dan terus menatap perempuan berjilbab itu. Aku merasa dikacangkan, kemudian aku ambrukkan sebagian tubuhku diatas meja ini, dan tak sedikitpun aku menengoknya lagi maupun orang yang berada didepan kelasku ini.
“Aip!” Telapak tangan kanannya mendarat diatas meja dengan begitu kerasnya, sehingga membuatku terperanjat dengan detak jantung yang sangat tinggi. Suasana kelas hening seketika itu pula. Aku hanya terdiam dan membisu saat ia berada didepan muka yang merah jmbu. “Coba terangkan kembali apa yang Ibu bicarakan tadi!” perintahnya.
“Apa bu?” Tanyaku
“Ibu kata, terangkan apa yang telah ibu terangkan tadi.” Jelasnya.
Aku mulai bingung, karena sejak tadi pun aku tak pernah tahu apa yang telah dia terangkan mengenai pelajarannya itu. Jika aku berkata jujur pasti mampuslah nilaiku nanti, dengan sangat terpaksa aku menuruti apa perintahnya itu. Ketika aku melangkah kedepan kelas suara bel istirahat selamtkan aku, sehingga aku menghentikan langkahku dan kembali menoleh perempuan yang memerintahkanku saat itu.
“Aduh bu, sudah bel ni. Bagaimana dong?” Ujarku sembari tersenyum.
“Ya udah lain kali jangan ulangi lagi.” Guru kemudian keluar dari kelas yang mulai kelabakan ini, disusul oleh siswa yang berbondong-bondong keluar.
Bersama hentakan kaki-kaki yang berdetakan diatas teras kelas, tampak sekali dikejauhan sini perempuan berjilbab itu tengah bersendagurau bersama teman karibnya. Entah kenapa kaki ini melangkah mendekatinya, padahal dia sama sekali tidak memintanya. Ketika hentakan kakiku mulai terdengar ditelinga mereka berdua, seketika itu pula mereka berdua menengokku.
“Wah, kebetulan nih, Nur ada Aip.” Ujar temannya yang tengah menyandar pada sebuah tembok besar.
“Emang ada Ran.” Tanyaku pada temannya.
“Ip, kamu tahu Hasbi dimana?” Suaranya begitu lembut, setiap ucapannya membuatku bergetar. Akan tetapi pertanyaannya kali ini membuatku malas mendengarkannya, karena yang ia tanyakan bukanlah mengenai diriku melainkan orang lain.
“Ngak.” Kataku. “Kamu, sudah jadian sama Hasbi?” Ujarku balik Tanya padanya.
“Siapa bilang?, kamu tidak tahu ya Ip, aku tuh sudara Hasbi lebih tepatnya dia itu paman aku.”
“Oh ya?” Hatiku tersenyum ketika mendengar pernyataannya itu.
“Hmm… jangan-jangan kamu suka ya Ip, sama Nur.” Singgung Rani.
“Ngak kok.” Aku mulai salah tingkah. Aku berpaling dari mereka berdua dan beranjak untuk meninggalkan mereka, “aku pergi dulu ya, nanti aku cari Hasbi.”
Kini langkahku mulai menjauhi mereka berdua, dan terus menjauh dari mereka. Aku berkeliling bersama hentakan yang hampa disertai perasaan penuh kebahagiaan, karena sekrang aku tahu bahwa Hasbi dan Nur hanya saudaraan saja. Oleh karena itu aku punya kesempatan untuk menjadi pacarnya. Jujur, sebenarnya aku selalu berharap Nur dapat merasakan perasaan yang sama sepertiku. Tapi sepertinya semua itu tidak akan pernah mungkin bisa terjadi, karena selain dia cantik nan pandai dia juga sangat solehah. Itulah yang membuatku jatuh cinta padanya. Akan tetapi sepertinya dia tidak pantas untukku yang merasa diriku ini bodoh, jelek, dan tidak soleh seperti dia, sungguh ini sangat bertolak belakang.
Belum sempat aku menemukan Hasbi, jam istirahat berlalu begitu cepat. Berbondong-bondong bersama yang lainnyaaku masuk kedalam kelasku, sungguh tiadk disangka ternyata Hasbi telah berada di dalam kelas dari tadi, padahal aku tengah mencari-carinya diluar sana. Aku duduk disampingnya. Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya untuk menyambutku sehungga harus akulah yang pertama kali memecahkan keheningan saat itu.
“Kemana saja kamu Bi?” Tanyaku. Dia tidak menjawab melainkan diam, menganggapku tak ada disampingnya. “Ternyata kamu saudaranya Nur.” Ujarku tanpa diperhatikannya.
Seperti itulah kbiadaban teman sebangkuku, entahlah aku tidak tahu, mungkin dia tuli. Tetapi, sepengetahuanku dia normal dan dapat berkomunikasi seperti kebanyakan orang-orang. Entahlah lebih baik aku diam dan perlu memikirkan orang yang tidak menanggapi perkataanku ini.
Detakan jam dinding hangatkan suasana sunyi nan hening ini, bersama sahutan jangkrik yang berderik dibelakang kamarku. Aku duduk diatas kursi belajarku dan meletakan buku dan balpoin diatas meja belajarku. Bersama sinar lampu pijar yang menyinari malamku ini, aku membuka lembaran-lembaran kertas didepanku. Banyak sekali hal yang ingin kutuliskan kedalam kertas ini, sebelum virus lupa merenggut semua ingatanku. Pertama, aku selalu kepikiran akan perempuan berjilabab putih itu, awalnya aku menyangka bahwa ia adalah kekasihnya Hasbi, secara tidak sengaja aku mengetahuinya bahwa ia hanyalah sudaranya Nur. Jadi, aku punya kesempatan untuk menjadi kekasih Nur. Kedua, ada yang aneh dengan Hasbi selama aku menjalan teman dengannya sikapnya yang aku tahu bukanlah seperti itu, tapi entahlah mungkin hanya Tuhan dan dia saja yang tahu.
Setelah kutuliskan semuanya, aku terdiam dan berangan-angan dengan bayangan semu. Aku berkhayal aku berhasil menjadi pacar Nur. Seketika itu pula aku sadar dan terlintas dipikiranku untuk mengatakan cinta padanya. Tetapi aku bingung dan takut mengatakannya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirmnya surat. Saat itu pula aku mulai menggoreskan kepala balpoinku diatas kertas putih. Aku tak bosan-bosannya menyusun kata-kata sehingga beberpa surat yang gagal kubuat kini telah berserakan diatas mejaku. Berkat kuatnya tekadku untuk menulis surat untuk Nur, akhirnya selesai juga surat yang kubuat itu. Akan tetapi, aku tak kuasa melawan ras kantukku sehingga aku tertidu beralaskan kertas diatas meja.
Lengkingan adzan subuh menggemparkan alam sunyi. Aku terperanjat, aku terkejut ketika aku tahu surat yang kubuat semalam aku tiduri, seketika itu pula aku langsung mengambilnya dan membersihkannya, dan kusimpan rapi-rapi. Aku duduk diatas kasur, aku terlentang diatas kasur itu dan pikiranku melayang-layang pada wajah cantiknya perempuan berjilbab putih. Sedikit-sedikit mataku mulai tertutup kembali. Aku kembali terperanjat dan bangkit dari kasur, aku ingat bahwa aku belum melaksanakan shalat subuh, dari sana pulalah aku beranjak ke masjid untuk melaksanakan shalat subuh.
Beriring dengan deringnya bel sekolah yang menyengat telinga, seluruh siswa berduyun-duyun masuk ke kelas. Aku sangat bersemangat sekaligus deg-degan unruk mengirimkan surat ini. Aku duduk diatas bangkuku. Wajah tengil Hasbi kini tak ada disampingku, aku menoleh pada bangku yang bersebrangan denganku. Senyumnya tak terpancar lagi, tatapannya pun menghilang, hanya menyisakan bangku yang sering ia duduki. Aku menarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan tanpa perasaan. Hingga seorang guru muncul kepermukaan kelasku, mereka berdua tak kunjung datang juga. Aku menjadi lemah seketika itu pula. Aku heran ada apa dengan mereka berdua, mengapa mereka bisa tidak masuk sekolah secara bersamaan.
“Aneh.” Desisku.
Hingga pelajaran terakhir berakhir, mereka masih belum terlihat batang hidungnya, aku jadi curiga ada apa ini sebenarnya.
“Sepertinya, aku harus pergi ke rumahnya.”
Dengan berkendara motor bebek yang pernah ayah berikan padaku saat pertama kali aku masuk ke MA ini, aku melesat pergi menuju rumah Nur. Ditengah perjalanan aku terhenti dan sekejap berpikir.
“Bodoh sekali aku ini. Bagaimana mungkin aku bisa sampai kerymahnya. Toh, alamat rumahnya saja aku ngak tahu.” Ujarku.
Aku mulai menundukan dan berkonsentrasi, berpikir bagaimana caranya agar aku mendapatkan alamatnya. Pohon palm yang berada disamping motorku berdiri begitu gagah dan tanah trotoar yang ditaburi rumput nan hijau, kesejukannya laksana oksigen yang membantu dalam berkonsntrasi. Tetapi, lain halnya dengan beberapa kendaraan yang lalu lalang disamping kiri motorku yang berdring laksan radio butut yang memecahkan gendang telinga, untungnya sedikit pun aku tidak terpengaruh olehnya.
Aku mengeluarkan telepon genggam dari saku celanaku. Aku masih duduk diatas motor bebekku. Tangan kiriku kini telah menopang dagu, sementara tangan kananku sibuk menggenggam hp, dan mencari suatu nomor. Bibirku menyeringai ketika aku melihat sebuah nomor yang tertera dilayar hpku. Tanpa berpikir panjang aku langsung menghubungi nomor tersebut. Bunyi dering khas telepon kini bordering dihp-ku, tiba-tiba bunyi itu lenyap dan timbul suara yang berbeda.
“Hallo assalamualaikum, ada apa Ip?”
“Waalaikumsalam. Ran, bisa minta alamat rumahnya Nur ngak Ran.” Pintaku dalam dialog itu.
“Emangnya mau apa?” Tanyanya.
“ Hmm… aku Cuma mau tengok Nur dan Hasbi saja.”
“Owh…, kalau begitu nanti aku SMS alamatnya.” Ujarnya.
“Terimakasih ya Ran.” Ucapku, “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Tanpa basa-basi lagi, hpku maupun Rani menutupnya.
Aku menyimpan kembali hpku kedalam saku celanaku, dan menunggu hpku berbunyi tanda bahwa SMS dari Rani telah aku terima. Tidak begitu lama aku menunggunya hpku berbunyi seketika itu pula, sesegera mungkin aku mengeluarkannya dari saku celanaku dan membaca SMS tersebut. Ternyata SMS tersebut benar dari Rani dan benar pesannya adalah alamat rumah Nur.
Dengan cepat-cepat dan gesit, sesegera mungkin aku pergi bersama motor bebekku melesat menuju alamat yang telah dikirim oleh Rani.
Sebuah rumah yang berhias karangan bunga-bunga yang bergantungan didepan mukanya itu bergoyang-goyang yang tersentuh angina. Poho manggayang berdiri kokoh disampingku meberikan suasana sejuk bagi sekelilingnya, sehingga terlihat eksotis. Aku beranjak dari motorku untuk menuju depan muka rumah itu. Dengan berani aku mengeluarkan salam untuk orang yang berada dibalik pintu ini.
“Siapa ya?” Wajahnya penuh keriput, matanya tampak tak begitu cerah sehingga warna merah tampak di bola matanya.
“Saya Aip nek, temannya Nur. Nurnya ada?”
“ Nur sedang dirawat.”
“Dirawat, dirawat dimana nek?”
“Di rumah sakit fatmawati.”
“Terimaksih nek. Assalamualaikum.” Sambil berlalu dari wajah keriputnya.
Tidak sempat aku dipersilahkan duduk bahkan segelas air minum pun tak ada, aku berada dirumahnya begitu singkat dan harus segera ke rumah sakit dengan sibebekku yang selalu setia temani aku kemanapun. Entah kenapa aku begitu perhatian kepadanya, padahal dia sendiri belum tentu memperhatikan aku. Apa sebenarnya yang ada dipikiranku ini, mungkinkah hanya selembar kertas dan perasaan ini yang membuatku seperti ini?.
Sampailah aku di rumah sakit teresebut, aku bergegas menuju petugas rumah sakit dan langsung menanyakan kamar rawat yang digunakan oleh Nur. Setelah aku mendapat informasinya, sesegera mungkin aku melangkahkan kaki menuju kamar tersebut. Aku berjalan melalui koridor-koridor rumah sakit, dan tiba-tiba langkahku terhenti oleh suara handphone yang berada disaku celanaku, dengan tergesa-gesa aku mengambil handphoneku ini, sehingga tidak terasa surat cinta yang kubuat semalam terjatuh diatas lantai. Setelah kuangkat telepon itu ternyata hanya miscall saja. Kemudian aku simpan kembali kedalam saku celanaku.
“Sepertinya….” Aku mulai sadar ada sesuatu yang hilang dari saku celanaku ini, “surat?” aku gelagapan bahwa suratku telah menghilang, aku tengok kiri tengok kanan ternya tidak ada, setelah kutengok kedasar lantaiku tepan didepan sepatu surat itu tergeletak, aku pula meraihnya.
“Nur tidak mungkin mempunyai penyakit seperti itu dok.” Suara itu bersumber dari ruangan yang berhadapan denganku, aku tidak jadi mengambil suratnya aku lebih tertarik pada suara misterius yang sebelumnya aku tidak tahu siapa yang berbicara didalam ruangan itu. “Bagaimana bias Nur mempunyai penyakit gagal ginjal.” Lanjutnya. Sepertinya suara itu kukenal, setelah aku pikir-pikir dan membuatku penasaran aku melihat dialog kedua orang tersebut. Melalui sebuah kaca kecil yang terdapat didepan pintu ruangan itu aku berhasil melihat percakapan mereka berdua, dan ternyata didalam itu Hasbi dengan seorang dokter. Aku sudah dapat menyangka yang mempunyai penyakit tersebut adalah Nur yang aku cintai itu, seketika itu pula dan rapuh, mataku berkaca-kaca. Aku tidak ingin berlama-lama didepan pintu ini aku sgera pulang aku tidak kuasa jika harus menmui Nur dan menyaksikan penderitaannya.
Pintu itu terbuka, Hasbi keluar dari ruangan itu. Matanya menyaksikan pundakku yang bergegas pulang, akan tetapi dia sedikit pun mengeluarkan suaranya untuk memanggilku.
Aku berlalu begitu cepat dari pandangannya, sehingga matanya tidak menatapku lagi. Kemudian ia menundukkan kepalaku sehingga ia menemukan suratku untuk Nur, surat ia raih dan dibawanya kesebuah ruangan yang cukup dekat dari tempat ia berdiri.
Mentari telah hangatkan tubuhku. Suasana kelas masih seperti biasanya, tetapi suasana hatiku yang tadinya redup kini telah cerah lagi, karena Nur telah berada di tempat duduknya. Wajahnya pucat, mungkin dia terlalu memaksakan diri untuk tetap hadir ke sekolah.
Hasbi masih seperti biasanya tak ada satu pun yang berubah darinya. Tidak ada senyum, tangis bahkan tawa yang melingkar diwajahnya. Dia tidak begitu banyak bicara, dan selalu masa bodoh terhadap apa yang terjadi di hadapannya. Aku duduk disampingnya. Aku membisu. Aku tahu pasti didalam otaknya ada seribu pertanyaan mengenai kedatanganku kemarin di rumah sakit, begitu pula dengan isi otakku yang mempunyai banyak pertanyaan untuknya mengenai keadaan yang sebenarnya terjadi kepada Nur.
Istirahat tiba, aku masih duduk diatas disini, sungguh aku tiadak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini.disisi lain aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku kepada Nur, tetapi aku selalu tidak bisa. Disisi lain aku ingin sekali tahu keadaan Nur yang sebenarnya dan memastikan bahwa apa yang telah dibicarakan Hasbi dengan dokter itu hanya kabar bohong saja.
“Ditunggu sam Nur tuh, di taman.” Ucap hasbi yang tiba-tiba dating kehadapannku dan begitu cepat pula ia enyah dari hadapanku.
“Tunggu Bi!” langkahnya terhenti tetapi tak sederajat pun dia menengokku. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Nur.” Ia tak menanggapi pertanyaanku ini, langkahnya membawa ia keluar dari kelas ini.
Disamping pohon beringin yang besar nan hijau yang disekelilingnya dihiasi bunga-bunga yang berwarna-warni sehingga taman ini tampak indah bagi siapa saja melihatnya termasuk aku sendiri. Didalam taman itu terdapat sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati yang kokoh nan kuat, kursi itu menghadap kearah timur dimana matahari terbit dengan sinar hangatnya. Tampak diatas kursi itu terdapat seorang perempuan yang tengah duduk manis dengan pandangan yang kosong. Aku mendekatinya.
Aku tak berani duduk disampingnya, hanya berjarak satu meter darinya aku berdiri mentap jilbab putihnya.
“Assalamualaikum. Ada apa Nur?”
“Waalaikum salam.” Tidak sedikit pun ia menoleh padaku. “Aku sudah tahu semuanya tentang perasaanmu Ip.” Aku bingung dibuatnya. “Benarkah kamu mencintaiku?” tanyanya.
“Darimana kamu tahu tentang perasaanku.” Aku kembali bertanya.
“Suratmu yang member tahuku.” Aku terdiam, aku baru ingat ternyata ketika surat itu terjatuh aku lupa mengambilnya kembali.
“Jadi…”
“Ya! Hasbi yang telah menyampaikan surat itu padaku.” Ucapnya. Ia berdiri dan mentapku. Aku tidak mengerti kenap ia berdiri dengan mata yang berkaca-kaca. “Sebenarnya aku juga suka kamu Ip, tetapi aku tidak mungkin selalu bersamamu.” Dari sanalah hatiku tersentak sehingga membuatku penasaran tentang apa yang telah ia katakana barusan.
“Kenapa Nur?”
“Aku tidak akan hidup lama lagi, dokter telah memvonisku…”
“Jadi peny….”
“Benar. Aku mengidap penyakit gagal ginjal dan sudah kronis, maka dari itu divonis.”
Aku mendekatinya, “tapi dokter bukan tuhan. Yang tahu hidup dan mati itu hanya Allah Nur.”
“Apakah kamu ikhlas mencintaiku?” tanyanya.
“Aku ikhlas mencintaimu Nur, aku mencintaimu dari lubuk hatiku yang paling dalam.” Jelasku.
Dengan tenang ia berkata, “cintai aku karena Allah, Ip.” Aku terdiam, dan termenung kemudian aku bertanya pada diriku sendiri, jawaban apa yang harus aku uicapkan kepadanya.
Aku memegang kedua tangannya, dan mencoba menenangkan hatinya. “Nur. Cintai aku pula karena Allah.”
Nur segera melepaskan genggamanku, ia kembali duduk diatas kursi. Wajah cantiknya ditutupi dengan kedua telapak tangannya, sehingga keluarlah suara isak tangis dibalik telapak tangan itu. Aku menjadi penasaran dan ingin sekali menyentuh pundaknya. Ketika tanganku melayang, tangisnya terhenti dan mengusap tangisannya dengan kedua tangan putihnya.
“Baiklah kalau begitu, ikhlaskanlah aku untuk Allah.” Ia bangkit dan beranjak dari kursi ini. Sementara itu aku ambruk atas kata-kata terakhirnya, sehingga aku terduduk diatas kursi ini. Aku merenung.
“Apa maksud dari semua ini.”
Aku beranjak dari tempat ini perasaan yang gundah, penuh dengan pertanyaan. Ketika aku memasuki kelas siswa sekelas tengah bergerombol disebuah bangku, yang aku tahu bangku itu ialah bangku yang sering duduki Nur, aku mejadi penasaran dan menghampirinya.
“Ada apa ini?” tanyaku. Setelah aku melihat dengan jelas apa yang terjadi. Ternyata nur berada dalam keadaan yang tak berdaya diatas bangkunya. Sesegera mungkin aku membawanya ke ruang UKS. Setelah ia mendapatkan perawatan dari dokter, tubuh mendingin tak ada sedetak jantung pun yang dirasakan dari urat nadinya, oleh dokter tersebut. Dokter mentapku dan mulai membuka mulutnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Teman kalian telah pergi kepada asalnya.”
Tiba-tiba air mataku keluar, duka ini telah membelitku. Aku sakit sekali telah ditinggalkan oleh seseorang yang istemewa dimataku. Sekarang aku tahu apa maksud dari kalimat terakhir darinya.
Aku mencoba tersenyum menatap jasad si perempuan berjilbab yang tak berdaya ini, “Aku ikhlas kau berada disisiNya.”
Karya: Sulaeman Daud
Kerudung putih yang melingkar dikepalanya seakan-akan tebawa pergi bersama angin-angin kecil yang berhembus ketelingaku dikelas itu. Angin-angin kecil itu membisikan telingaku bahwa perempuan berjilbab itu tengah memandangku. Tatapannya begitu ramah sehingga ada pelangi yang berbinar dimatanya, aku ingin sekali membalas tatapannya tapi aku takut ia akan membuang muka dariku dan kunjung menatapku lagi. Seiring udara yang kian memanas dan angin-angin itu selalu membisikan bahwa perempuan itu masih menatapku, kali aku harus berani membalas tatapannya. Secara perlahan aku memutar kepalaku hingga terlihatlah batang hidungnya. Ternyata aku telah berburuk sangka, dia membalasku dengan senyuman yang melingkar di bibirnya.
Aku kembali tersenyum padanya. Kenyataannya seseorang didekatku ini juga tengah menengoknya dan tersenyum padanya. Aku memalingkan wajah dari perempuan berjilbab tersebut dan berbalik menengok Hasbi teman sebangkuku, aku menatapnya dengan aneh tetapi dia abaikan perhatianku ini dan terus menatap perempuan berjilbab itu. Aku merasa dikacangkan, kemudian aku ambrukkan sebagian tubuhku diatas meja ini, dan tak sedikitpun aku menengoknya lagi maupun orang yang berada didepan kelasku ini.
“Aip!” Telapak tangan kanannya mendarat diatas meja dengan begitu kerasnya, sehingga membuatku terperanjat dengan detak jantung yang sangat tinggi. Suasana kelas hening seketika itu pula. Aku hanya terdiam dan membisu saat ia berada didepan muka yang merah jmbu. “Coba terangkan kembali apa yang Ibu bicarakan tadi!” perintahnya.
“Apa bu?” Tanyaku
“Ibu kata, terangkan apa yang telah ibu terangkan tadi.” Jelasnya.
Aku mulai bingung, karena sejak tadi pun aku tak pernah tahu apa yang telah dia terangkan mengenai pelajarannya itu. Jika aku berkata jujur pasti mampuslah nilaiku nanti, dengan sangat terpaksa aku menuruti apa perintahnya itu. Ketika aku melangkah kedepan kelas suara bel istirahat selamtkan aku, sehingga aku menghentikan langkahku dan kembali menoleh perempuan yang memerintahkanku saat itu.
“Aduh bu, sudah bel ni. Bagaimana dong?” Ujarku sembari tersenyum.
“Ya udah lain kali jangan ulangi lagi.” Guru kemudian keluar dari kelas yang mulai kelabakan ini, disusul oleh siswa yang berbondong-bondong keluar.
Bersama hentakan kaki-kaki yang berdetakan diatas teras kelas, tampak sekali dikejauhan sini perempuan berjilbab itu tengah bersendagurau bersama teman karibnya. Entah kenapa kaki ini melangkah mendekatinya, padahal dia sama sekali tidak memintanya. Ketika hentakan kakiku mulai terdengar ditelinga mereka berdua, seketika itu pula mereka berdua menengokku.
“Wah, kebetulan nih, Nur ada Aip.” Ujar temannya yang tengah menyandar pada sebuah tembok besar.
“Emang ada Ran.” Tanyaku pada temannya.
“Ip, kamu tahu Hasbi dimana?” Suaranya begitu lembut, setiap ucapannya membuatku bergetar. Akan tetapi pertanyaannya kali ini membuatku malas mendengarkannya, karena yang ia tanyakan bukanlah mengenai diriku melainkan orang lain.
“Ngak.” Kataku. “Kamu, sudah jadian sama Hasbi?” Ujarku balik Tanya padanya.
“Siapa bilang?, kamu tidak tahu ya Ip, aku tuh sudara Hasbi lebih tepatnya dia itu paman aku.”
“Oh ya?” Hatiku tersenyum ketika mendengar pernyataannya itu.
“Hmm… jangan-jangan kamu suka ya Ip, sama Nur.” Singgung Rani.
“Ngak kok.” Aku mulai salah tingkah. Aku berpaling dari mereka berdua dan beranjak untuk meninggalkan mereka, “aku pergi dulu ya, nanti aku cari Hasbi.”
Kini langkahku mulai menjauhi mereka berdua, dan terus menjauh dari mereka. Aku berkeliling bersama hentakan yang hampa disertai perasaan penuh kebahagiaan, karena sekrang aku tahu bahwa Hasbi dan Nur hanya saudaraan saja. Oleh karena itu aku punya kesempatan untuk menjadi pacarnya. Jujur, sebenarnya aku selalu berharap Nur dapat merasakan perasaan yang sama sepertiku. Tapi sepertinya semua itu tidak akan pernah mungkin bisa terjadi, karena selain dia cantik nan pandai dia juga sangat solehah. Itulah yang membuatku jatuh cinta padanya. Akan tetapi sepertinya dia tidak pantas untukku yang merasa diriku ini bodoh, jelek, dan tidak soleh seperti dia, sungguh ini sangat bertolak belakang.
Belum sempat aku menemukan Hasbi, jam istirahat berlalu begitu cepat. Berbondong-bondong bersama yang lainnyaaku masuk kedalam kelasku, sungguh tiadk disangka ternyata Hasbi telah berada di dalam kelas dari tadi, padahal aku tengah mencari-carinya diluar sana. Aku duduk disampingnya. Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya untuk menyambutku sehungga harus akulah yang pertama kali memecahkan keheningan saat itu.
“Kemana saja kamu Bi?” Tanyaku. Dia tidak menjawab melainkan diam, menganggapku tak ada disampingnya. “Ternyata kamu saudaranya Nur.” Ujarku tanpa diperhatikannya.
Seperti itulah kbiadaban teman sebangkuku, entahlah aku tidak tahu, mungkin dia tuli. Tetapi, sepengetahuanku dia normal dan dapat berkomunikasi seperti kebanyakan orang-orang. Entahlah lebih baik aku diam dan perlu memikirkan orang yang tidak menanggapi perkataanku ini.
Detakan jam dinding hangatkan suasana sunyi nan hening ini, bersama sahutan jangkrik yang berderik dibelakang kamarku. Aku duduk diatas kursi belajarku dan meletakan buku dan balpoin diatas meja belajarku. Bersama sinar lampu pijar yang menyinari malamku ini, aku membuka lembaran-lembaran kertas didepanku. Banyak sekali hal yang ingin kutuliskan kedalam kertas ini, sebelum virus lupa merenggut semua ingatanku. Pertama, aku selalu kepikiran akan perempuan berjilabab putih itu, awalnya aku menyangka bahwa ia adalah kekasihnya Hasbi, secara tidak sengaja aku mengetahuinya bahwa ia hanyalah sudaranya Nur. Jadi, aku punya kesempatan untuk menjadi kekasih Nur. Kedua, ada yang aneh dengan Hasbi selama aku menjalan teman dengannya sikapnya yang aku tahu bukanlah seperti itu, tapi entahlah mungkin hanya Tuhan dan dia saja yang tahu.
Setelah kutuliskan semuanya, aku terdiam dan berangan-angan dengan bayangan semu. Aku berkhayal aku berhasil menjadi pacar Nur. Seketika itu pula aku sadar dan terlintas dipikiranku untuk mengatakan cinta padanya. Tetapi aku bingung dan takut mengatakannya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirmnya surat. Saat itu pula aku mulai menggoreskan kepala balpoinku diatas kertas putih. Aku tak bosan-bosannya menyusun kata-kata sehingga beberpa surat yang gagal kubuat kini telah berserakan diatas mejaku. Berkat kuatnya tekadku untuk menulis surat untuk Nur, akhirnya selesai juga surat yang kubuat itu. Akan tetapi, aku tak kuasa melawan ras kantukku sehingga aku tertidu beralaskan kertas diatas meja.
Lengkingan adzan subuh menggemparkan alam sunyi. Aku terperanjat, aku terkejut ketika aku tahu surat yang kubuat semalam aku tiduri, seketika itu pula aku langsung mengambilnya dan membersihkannya, dan kusimpan rapi-rapi. Aku duduk diatas kasur, aku terlentang diatas kasur itu dan pikiranku melayang-layang pada wajah cantiknya perempuan berjilbab putih. Sedikit-sedikit mataku mulai tertutup kembali. Aku kembali terperanjat dan bangkit dari kasur, aku ingat bahwa aku belum melaksanakan shalat subuh, dari sana pulalah aku beranjak ke masjid untuk melaksanakan shalat subuh.
Beriring dengan deringnya bel sekolah yang menyengat telinga, seluruh siswa berduyun-duyun masuk ke kelas. Aku sangat bersemangat sekaligus deg-degan unruk mengirimkan surat ini. Aku duduk diatas bangkuku. Wajah tengil Hasbi kini tak ada disampingku, aku menoleh pada bangku yang bersebrangan denganku. Senyumnya tak terpancar lagi, tatapannya pun menghilang, hanya menyisakan bangku yang sering ia duduki. Aku menarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan tanpa perasaan. Hingga seorang guru muncul kepermukaan kelasku, mereka berdua tak kunjung datang juga. Aku menjadi lemah seketika itu pula. Aku heran ada apa dengan mereka berdua, mengapa mereka bisa tidak masuk sekolah secara bersamaan.
“Aneh.” Desisku.
Hingga pelajaran terakhir berakhir, mereka masih belum terlihat batang hidungnya, aku jadi curiga ada apa ini sebenarnya.
“Sepertinya, aku harus pergi ke rumahnya.”
Dengan berkendara motor bebek yang pernah ayah berikan padaku saat pertama kali aku masuk ke MA ini, aku melesat pergi menuju rumah Nur. Ditengah perjalanan aku terhenti dan sekejap berpikir.
“Bodoh sekali aku ini. Bagaimana mungkin aku bisa sampai kerymahnya. Toh, alamat rumahnya saja aku ngak tahu.” Ujarku.
Aku mulai menundukan dan berkonsentrasi, berpikir bagaimana caranya agar aku mendapatkan alamatnya. Pohon palm yang berada disamping motorku berdiri begitu gagah dan tanah trotoar yang ditaburi rumput nan hijau, kesejukannya laksana oksigen yang membantu dalam berkonsntrasi. Tetapi, lain halnya dengan beberapa kendaraan yang lalu lalang disamping kiri motorku yang berdring laksan radio butut yang memecahkan gendang telinga, untungnya sedikit pun aku tidak terpengaruh olehnya.
Aku mengeluarkan telepon genggam dari saku celanaku. Aku masih duduk diatas motor bebekku. Tangan kiriku kini telah menopang dagu, sementara tangan kananku sibuk menggenggam hp, dan mencari suatu nomor. Bibirku menyeringai ketika aku melihat sebuah nomor yang tertera dilayar hpku. Tanpa berpikir panjang aku langsung menghubungi nomor tersebut. Bunyi dering khas telepon kini bordering dihp-ku, tiba-tiba bunyi itu lenyap dan timbul suara yang berbeda.
“Hallo assalamualaikum, ada apa Ip?”
“Waalaikumsalam. Ran, bisa minta alamat rumahnya Nur ngak Ran.” Pintaku dalam dialog itu.
“Emangnya mau apa?” Tanyanya.
“ Hmm… aku Cuma mau tengok Nur dan Hasbi saja.”
“Owh…, kalau begitu nanti aku SMS alamatnya.” Ujarnya.
“Terimakasih ya Ran.” Ucapku, “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Tanpa basa-basi lagi, hpku maupun Rani menutupnya.
Aku menyimpan kembali hpku kedalam saku celanaku, dan menunggu hpku berbunyi tanda bahwa SMS dari Rani telah aku terima. Tidak begitu lama aku menunggunya hpku berbunyi seketika itu pula, sesegera mungkin aku mengeluarkannya dari saku celanaku dan membaca SMS tersebut. Ternyata SMS tersebut benar dari Rani dan benar pesannya adalah alamat rumah Nur.
Dengan cepat-cepat dan gesit, sesegera mungkin aku pergi bersama motor bebekku melesat menuju alamat yang telah dikirim oleh Rani.
Sebuah rumah yang berhias karangan bunga-bunga yang bergantungan didepan mukanya itu bergoyang-goyang yang tersentuh angina. Poho manggayang berdiri kokoh disampingku meberikan suasana sejuk bagi sekelilingnya, sehingga terlihat eksotis. Aku beranjak dari motorku untuk menuju depan muka rumah itu. Dengan berani aku mengeluarkan salam untuk orang yang berada dibalik pintu ini.
“Siapa ya?” Wajahnya penuh keriput, matanya tampak tak begitu cerah sehingga warna merah tampak di bola matanya.
“Saya Aip nek, temannya Nur. Nurnya ada?”
“ Nur sedang dirawat.”
“Dirawat, dirawat dimana nek?”
“Di rumah sakit fatmawati.”
“Terimaksih nek. Assalamualaikum.” Sambil berlalu dari wajah keriputnya.
Tidak sempat aku dipersilahkan duduk bahkan segelas air minum pun tak ada, aku berada dirumahnya begitu singkat dan harus segera ke rumah sakit dengan sibebekku yang selalu setia temani aku kemanapun. Entah kenapa aku begitu perhatian kepadanya, padahal dia sendiri belum tentu memperhatikan aku. Apa sebenarnya yang ada dipikiranku ini, mungkinkah hanya selembar kertas dan perasaan ini yang membuatku seperti ini?.
Sampailah aku di rumah sakit teresebut, aku bergegas menuju petugas rumah sakit dan langsung menanyakan kamar rawat yang digunakan oleh Nur. Setelah aku mendapat informasinya, sesegera mungkin aku melangkahkan kaki menuju kamar tersebut. Aku berjalan melalui koridor-koridor rumah sakit, dan tiba-tiba langkahku terhenti oleh suara handphone yang berada disaku celanaku, dengan tergesa-gesa aku mengambil handphoneku ini, sehingga tidak terasa surat cinta yang kubuat semalam terjatuh diatas lantai. Setelah kuangkat telepon itu ternyata hanya miscall saja. Kemudian aku simpan kembali kedalam saku celanaku.
“Sepertinya….” Aku mulai sadar ada sesuatu yang hilang dari saku celanaku ini, “surat?” aku gelagapan bahwa suratku telah menghilang, aku tengok kiri tengok kanan ternya tidak ada, setelah kutengok kedasar lantaiku tepan didepan sepatu surat itu tergeletak, aku pula meraihnya.
“Nur tidak mungkin mempunyai penyakit seperti itu dok.” Suara itu bersumber dari ruangan yang berhadapan denganku, aku tidak jadi mengambil suratnya aku lebih tertarik pada suara misterius yang sebelumnya aku tidak tahu siapa yang berbicara didalam ruangan itu. “Bagaimana bias Nur mempunyai penyakit gagal ginjal.” Lanjutnya. Sepertinya suara itu kukenal, setelah aku pikir-pikir dan membuatku penasaran aku melihat dialog kedua orang tersebut. Melalui sebuah kaca kecil yang terdapat didepan pintu ruangan itu aku berhasil melihat percakapan mereka berdua, dan ternyata didalam itu Hasbi dengan seorang dokter. Aku sudah dapat menyangka yang mempunyai penyakit tersebut adalah Nur yang aku cintai itu, seketika itu pula dan rapuh, mataku berkaca-kaca. Aku tidak ingin berlama-lama didepan pintu ini aku sgera pulang aku tidak kuasa jika harus menmui Nur dan menyaksikan penderitaannya.
Pintu itu terbuka, Hasbi keluar dari ruangan itu. Matanya menyaksikan pundakku yang bergegas pulang, akan tetapi dia sedikit pun mengeluarkan suaranya untuk memanggilku.
Aku berlalu begitu cepat dari pandangannya, sehingga matanya tidak menatapku lagi. Kemudian ia menundukkan kepalaku sehingga ia menemukan suratku untuk Nur, surat ia raih dan dibawanya kesebuah ruangan yang cukup dekat dari tempat ia berdiri.
Mentari telah hangatkan tubuhku. Suasana kelas masih seperti biasanya, tetapi suasana hatiku yang tadinya redup kini telah cerah lagi, karena Nur telah berada di tempat duduknya. Wajahnya pucat, mungkin dia terlalu memaksakan diri untuk tetap hadir ke sekolah.
Hasbi masih seperti biasanya tak ada satu pun yang berubah darinya. Tidak ada senyum, tangis bahkan tawa yang melingkar diwajahnya. Dia tidak begitu banyak bicara, dan selalu masa bodoh terhadap apa yang terjadi di hadapannya. Aku duduk disampingnya. Aku membisu. Aku tahu pasti didalam otaknya ada seribu pertanyaan mengenai kedatanganku kemarin di rumah sakit, begitu pula dengan isi otakku yang mempunyai banyak pertanyaan untuknya mengenai keadaan yang sebenarnya terjadi kepada Nur.
Istirahat tiba, aku masih duduk diatas disini, sungguh aku tiadak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini.disisi lain aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku kepada Nur, tetapi aku selalu tidak bisa. Disisi lain aku ingin sekali tahu keadaan Nur yang sebenarnya dan memastikan bahwa apa yang telah dibicarakan Hasbi dengan dokter itu hanya kabar bohong saja.
“Ditunggu sam Nur tuh, di taman.” Ucap hasbi yang tiba-tiba dating kehadapannku dan begitu cepat pula ia enyah dari hadapanku.
“Tunggu Bi!” langkahnya terhenti tetapi tak sederajat pun dia menengokku. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Nur.” Ia tak menanggapi pertanyaanku ini, langkahnya membawa ia keluar dari kelas ini.
Disamping pohon beringin yang besar nan hijau yang disekelilingnya dihiasi bunga-bunga yang berwarna-warni sehingga taman ini tampak indah bagi siapa saja melihatnya termasuk aku sendiri. Didalam taman itu terdapat sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati yang kokoh nan kuat, kursi itu menghadap kearah timur dimana matahari terbit dengan sinar hangatnya. Tampak diatas kursi itu terdapat seorang perempuan yang tengah duduk manis dengan pandangan yang kosong. Aku mendekatinya.
Aku tak berani duduk disampingnya, hanya berjarak satu meter darinya aku berdiri mentap jilbab putihnya.
“Assalamualaikum. Ada apa Nur?”
“Waalaikum salam.” Tidak sedikit pun ia menoleh padaku. “Aku sudah tahu semuanya tentang perasaanmu Ip.” Aku bingung dibuatnya. “Benarkah kamu mencintaiku?” tanyanya.
“Darimana kamu tahu tentang perasaanku.” Aku kembali bertanya.
“Suratmu yang member tahuku.” Aku terdiam, aku baru ingat ternyata ketika surat itu terjatuh aku lupa mengambilnya kembali.
“Jadi…”
“Ya! Hasbi yang telah menyampaikan surat itu padaku.” Ucapnya. Ia berdiri dan mentapku. Aku tidak mengerti kenap ia berdiri dengan mata yang berkaca-kaca. “Sebenarnya aku juga suka kamu Ip, tetapi aku tidak mungkin selalu bersamamu.” Dari sanalah hatiku tersentak sehingga membuatku penasaran tentang apa yang telah ia katakana barusan.
“Kenapa Nur?”
“Aku tidak akan hidup lama lagi, dokter telah memvonisku…”
“Jadi peny….”
“Benar. Aku mengidap penyakit gagal ginjal dan sudah kronis, maka dari itu divonis.”
Aku mendekatinya, “tapi dokter bukan tuhan. Yang tahu hidup dan mati itu hanya Allah Nur.”
“Apakah kamu ikhlas mencintaiku?” tanyanya.
“Aku ikhlas mencintaimu Nur, aku mencintaimu dari lubuk hatiku yang paling dalam.” Jelasku.
Dengan tenang ia berkata, “cintai aku karena Allah, Ip.” Aku terdiam, dan termenung kemudian aku bertanya pada diriku sendiri, jawaban apa yang harus aku uicapkan kepadanya.
Aku memegang kedua tangannya, dan mencoba menenangkan hatinya. “Nur. Cintai aku pula karena Allah.”
Nur segera melepaskan genggamanku, ia kembali duduk diatas kursi. Wajah cantiknya ditutupi dengan kedua telapak tangannya, sehingga keluarlah suara isak tangis dibalik telapak tangan itu. Aku menjadi penasaran dan ingin sekali menyentuh pundaknya. Ketika tanganku melayang, tangisnya terhenti dan mengusap tangisannya dengan kedua tangan putihnya.
“Baiklah kalau begitu, ikhlaskanlah aku untuk Allah.” Ia bangkit dan beranjak dari kursi ini. Sementara itu aku ambruk atas kata-kata terakhirnya, sehingga aku terduduk diatas kursi ini. Aku merenung.
“Apa maksud dari semua ini.”
Aku beranjak dari tempat ini perasaan yang gundah, penuh dengan pertanyaan. Ketika aku memasuki kelas siswa sekelas tengah bergerombol disebuah bangku, yang aku tahu bangku itu ialah bangku yang sering duduki Nur, aku mejadi penasaran dan menghampirinya.
“Ada apa ini?” tanyaku. Setelah aku melihat dengan jelas apa yang terjadi. Ternyata nur berada dalam keadaan yang tak berdaya diatas bangkunya. Sesegera mungkin aku membawanya ke ruang UKS. Setelah ia mendapatkan perawatan dari dokter, tubuh mendingin tak ada sedetak jantung pun yang dirasakan dari urat nadinya, oleh dokter tersebut. Dokter mentapku dan mulai membuka mulutnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Teman kalian telah pergi kepada asalnya.”
Tiba-tiba air mataku keluar, duka ini telah membelitku. Aku sakit sekali telah ditinggalkan oleh seseorang yang istemewa dimataku. Sekarang aku tahu apa maksud dari kalimat terakhir darinya.
Aku mencoba tersenyum menatap jasad si perempuan berjilbab yang tak berdaya ini, “Aku ikhlas kau berada disisiNya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar