Sabtu, 12 Oktober 2013

Peci Hitam (episode 1) karya : Sulaeman Daud

Cahaya matahari mendarat diatas lantai yang rumah, cahayanya menmbus atap yang berlubang. Taidak ada seorang pun yang berada di rumah ini, kecuali diriku sendiri yang berada diatas kursi duduk terpaku menatapi sebuah kalender yang berlukiskan sebuah masjid yang bernama Masjid Istiqlal.

"Gebrakkk!!!" suara pintu membuatku terkaget-kaget hingga aku harus berdiri dari tempat dudukku dan beranjak menghampiri sumber suara itu.

"Ada apa Yah?" langkahku berhenti ketika aku tahu bahwa yang menutup pintu dengan keras itu adalah Ayahku. Wajahnya memerah seperti banteng yang hendak menubruk, alisnya yang tebal nan hitam seakan-akan mendukung dia tampak marah. Tatapannya pula sanagt tajam hingga menusuk pikiranku. Aku menelan ludah. Ayahku adalah seorang preman pasar yang disegani oleh setiap orang yang mengetahuinya. Tato naga yang tercipta dilengan kirinya menandakan bahwa ia cukup buas, ditambah rambut gondrong yang menghias kepalanya, dan rompi yang terbuat dari lepis itu akan senantiasa melekat pada tubuhnya.

Ia berlari kecil menghampiriku. Jari-jari tangannya bergrilya di telingaku hingga lengkingan rasa sakitku keluar. Aku diseretnya keluar rumah. Langkahnya memang telah berhenti tetapi tanganya masih melekat ditelingaku. Sementara itu aku terus merengek kesakitan.

"Sudah berani rupanya sekarang. Kenapa lu ngak kerja?" suaranya terpekik ditelingaku.

"Ampun Yah, aku lagi sakit."

"Sakit? banci lu!!!" dia melemparkan tubuhku yang kecil ini keatas tanah. Telingaku sangat merah. Dengan replek aku mengusap telingaku ini. "Sakit degitu aja udah lemah, awas lu kalo ini hari ngak nongol di pasar lu rasain akibatnya." Jari telunjuknya menuduhku seakan aku pencuri yang tertangkap basah. Ia membuang muka dariku dan pergi meninggalkan tempat ini.

Begitulah kehidupanku saat ini. Tiada hari tanpa bekerja memenuhi kebutuhan keluargaku. Seharusnya, masa-masa remaja sepertiku ini masih menikmati yang namanya bangku sekolah, dan emang harus begitu karena aku masih dalam usia yang belum saatnya bekerja, akan tetapi mau palagi tuntutan hisup seperti ini. Aku sudah putus sekolah sejak kelas tiga SD mungkin jika dulu aku masih tetap sekolah aku sudah kelas tiga SMP. Tapi ini adalah jalan hidup harus aku jalani meski pahit rasanya.

Meskipun kedua orangtuaku bekerja, akan tetapi kami masih belum merasa berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan. Sejak usiaku delapan tahun, sebelum ayah menjadi seorang preman pasar dia adalah sosok yang sangat aku kagumi, meski pekerjaan hanya sebagai tukang ojek kampung saja. Akan tetapi semuanya menjadi berubah drastis ayah menjadi stres karena hutangnya yang menumpuk pada seorang rentenir sehingga motor kesayangannya harus menjadi bahan jaminan atas hutangnya. Begitu dengan ibu, yang semula bekerja sebagai pedagang sayura di pasar kini harus beralih sebagai pembantu rumah tangga rentenir tersebut. Ya.. untungnya, ibu dapat di gaji oleh rentenir meskipun hanya setengahnya dari gaji pokok. Kami bertiga tidak pernah mengeluh terhadap apa-apa yang telah Tuhan berikan, meskipun ayahku telah sering sekali keluar masuk tahanan penjara, itu kami anggap sebagai cobaan.

Kini aku telah tiba disebuah pasar. Hiruk pikuk dikeramaian pasar tradisional sangat terasa, apalagi berbagai bau-bauan yang tidak sedap menyengat hidungku. Seseorang tengah melambai-lambaikan tangannya padaku, setelah kulihat-lihat ternyata dia adalah ayah. Dengan perasaan gundah aku pun menghampirinya.

"Mulai sekarangm, kamu bekerja di warung Mpok Rukmini."

Aku melirik seorang janda tua yang tengah berdiri disamaping sayur-sayurannya yang yang hijau. Wajahnya muram tak sedikit pun senyuman yang melintang di wajahnya yang berkeriput itu. Tampak perempuan itu menatapku balik denga tatapan yang aneh. Aku heran, entah apa yang dipikirannya saat itu.

Aku kembali menatap ayah. "Kenapa aku harus bekerja disini?" tanyaku.

"Lu tuh kalau di kasih pekerjaan mestinya bersyukur. Jadi, lu ngak boleh nolak." Ia menatap bu Rukmini, " Mpok gua titip ini anak. Kalau dia mebuat yang ngak menyenangkan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar